TAPUT.WAHANANEWS.CO, Medan - Wakil Bupati Tapanuli Utara, Dr Deni Parlindungan Lumbantoruan, menghadiri pertemuan Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi XIII DPR RI bersama jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta para pemangku kepentingan lainnya bertempat di Hotel Grand City Hall, Medan, Jumat (3/10/2025).
Pertemuan ini difokuskan pada pembahasan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) terhadap masyarakat adat di kawasan Danau Toba.
Baca Juga:
Finalisasi Persiapan Hari Jadi ke-80 Kabupaten Tapanuli Utara
Acara turut dihadiri oleh Komnas HAM, LPSK, Ephorus HKBP, perwakilan dari tujuh pemerintah kabupaten sekitar Danau Toba, tokoh agama, organisasi masyarakat sipil, serta perwakilan dari PT TPL dan masyarakat adat.
Diskusi berlangsung secara terbuka untuk menggali fakta dan merumuskan langkah strategis dalam menyelesaikan konflik lahan yang berlarut-larut.
Ephorus HKBP (2 dari kiri) turut menghadiri Reses Komisi XIII DPR RI bahas dugaan pelanggaran HAM oleh PT TPL di Wilayah kawasan Danau Toba.
Baca Juga:
Bupati dan Wakil Bupati Taput Hadiri Upacara Kesaktian Pancasila
Pada kesempatan tersebut, Wakil Bupati menegaskan komitmen Pemkab Taput dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara terus berupaya melindungi hak-hak masyarakat adat. Hingga saat ini sudah terbentuk 10 komunitas masyarakat hukum adat di Taput melalui Keputusan Bupati, dengan rata-rata wilayah sekitar 4.000 hektare.
Komunitas terbesar adalah Kenegerian Janji Angkola yang luasnya mencapai 8.000 hektare,” ujarnya.
Ia juga menyoroti konflik yang langsung bersinggungan dengan PT TPL. “Dari 10 komunitas tersebut, 9 sudah ditetapkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dua komunitas, yakni Nagasaribu Siharbangan dan Pansur Batu, memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan konsesi PT TPL.
Bahkan dua bulan lalu terjadi konflik, di mana 778,682 hektare lahan konsesi TPL beralih ke wilayah masyarakat hukum adat Nagasaribu Siharbangan,” jelasnya.
Wakil Bupati menekankan bahwa permasalahan utama adalah ketiadaan tata batas yang jelas. “Sampai saat ini belum ada revisi atau adendum wilayah konsesi PT TPL setelah terbitnya SK pengakuan masyarakat hukum adat.
Untuk itu, Pemkab Taput telah melakukan berbagai langkah, mulai dari mediasi bersama Forkopimda, rapat dengar pendapat di DPRD, hingga membentuk Pansus khusus,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan perlunya dukungan anggaran pusat. “Kami juga sudah menyurati Ombudsman RI untuk mendorong Kementerian LHK segera menetapkan tapal batas resmi.
Namun, penetapan ini membutuhkan biaya besar, sementara kemampuan daerah sangat terbatas. Karena itu, kami berharap Kementerian menjadikan penguatan masyarakat hukum adat, khususnya yang bersinggungan dengan PT TPL, sebagai prioritas nasional agar konflik berkepanjangan dapat dihindari,”tegas Wakil Bupati.
[Ediror: Eben Ezer S]